Selasa, 04 Juni 2024

1.4.a.8 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4 TENTANG BUDAYA POSITIF


Bapak Khairul Fauzi
                                               Bapak Khairul Fauzi   Ibu Muslikhatul Sofiyana
                                                        Fasilitator                 Pengajar Praktik
                                                 
Anita Dian Sukardi
CGP Angkatan 10 Kelas 052 B
SMAN 1 Prajekan
Kabupaten Bondowoso


KESIMPULAN

           Pendidikan merupakan tempat bersemainya benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Ki Hajar Dewantara menfilosofikan bahwa pendidik diibaratkan seorang petani, jika benih dirawat dengan sepenuh hati, maka akan tumbuh tanaman yang berkualitas. Demikian pula, jika benih yang dimiliki tidak bagus, namun apabila dirawat dengan penuh kesabaran dan sesuai dengan karakteristiknya maka akan tumbuh tanaman yang baik. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang beradab, kuncinya melalui pendidikan. Sekolah dapat menjadi ruang tumbuhnya nilai-nilai kebajikan yang dapat diteruskan atau diwajibkan.
              Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.   
           Budaya positif adalah sikap, nilai, kepercayaan, dan praktik-praktik yang menciptakan lingkungan yang mendukung dan memotivasi orang untuk berkembang dan berkontribusi secara positif. Hal ini dapat di bentuk dalam keluarga, organisasi, tempat kerja, atau komunitas. Budaya positif merujuk pada kumpulan norma, nilai, dan kebiasaan positif yang berkembang dalam suatu lingkungan, baik itu di tempat kerja, di sekolah, atau di masyarakat. Budaya positif mengacu pada sikap positif dan perilaku yang di dorong, seperti: menghargai orang lain, bekerja sama, menghormati perbedaan, berpikiran terbuka, mengembangkan hubungan yang sehat, dan fokus pada solusi. 
     “Menciptakan lingkungan positif agar terbentuk suatu budaya positif adalah suatu proses perjalanan pendidikan yang harus kita jalani, karena ini merupakan tanggung jawab kita sebagai seorang pendidik, sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Suatu lingkungan yang aman dan nyaman akan memberikan murid kesempatan dan kebebasan untuk berproses, belajar, membuat kesalahan, belajar lagi, sehingga mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran. Perlu diingat, selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi. Dan salah satu tanggung jawab kita sebagai pendidik adalah menghilangkan atau ‘mencabut’ gangguan-gangguan yang menghalangi proses pengembangan potensi murid.”
             Dengan nilai dan peran guru penggerak maka dapat dilakukan kegiatan kolaboratif sehingga Kita mampu menciptakan budaya positif di sekolah untuk mencapai visi sekolah impian yang dicita-citakan, maka perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah dan biasanya membutuhkan waktu dan bersifat bertahap serta berkelanjutan. Perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Salah satunya adalah Inkuiri Apresiatif (IA) dengan pendekatan BAGJA. IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.
         Dan di sekolah saya yakni SMAN 1 Prajekan, sedang berupaya meningkatkan kemampuan bernalar kritis pada murid melalui kegiatan menggerakkan komunitas baca di sekolah. Dan dari kemampuan bernalar kritis tersebut, murid dapat mengembangkan kemampuan metakognitif dalam diri yang nantinya dapat secara keseluruhan membentuk karakter murid sesuai dengan profil pelajar Pancasila, sehingga dapat menghadapi tantangan Pendidikan abad 21.
         Berdasarkan upaya yang ingin dikembangkan di sekolah Saya yakni SMAN 1 Prajekan, maka kemudian Saya membuat Prakarsa Perubahan sebagai upaya meningkatkan kualitas layanan pendidikan yang berpihak pada murid, dan dalam Menyusun Prakarsa perubahan saya menggunakan alat bantu yaitu ATAP :
1. Aset
Murid memiliki hobi membaca (buku ensikolopedi, novel, dan lain-lain) selain itu juga ada sekelompok murid yang sering melakukan kegiatan hobi membaca. Dan di sekolah juga cukup tersedia buku-buku yang disenangi murid tersebut di perpustakaan
2. Tantangan
Mengarahkan dan mneuntun murid untuk dapat meningkatkan kemampuan bernalar kritrinya melalui bahan bacaan yang mereka baca melalui komunitas baca, serta sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya (sikap, keterampilan dan pengetahuannya)
3. Aksi
Membantu murid untuk belajar dan berlatih meningkatkan kemampuan bernalar kritisnya dengan lebih memahami bahan bacaan yang dibaca melalui komunitas baca sekaligus teman sebayanya dapat saling bantu mengatasi ketidakpahamannya terhadap apa yang sudah dibaca, sehingga nantinya murid dapat lebih berani bertanya dan mengemukakan pendapatnya
4. Pembelajaran
Murid dapat menjadi paham, mengapa mereka perlu meningkatkan kemampuan bernalar kritisnya dari kegiatan komuntas baca tersebut Menghargai setiap perbedaan pendapat diantara mereka, sebagai suatu dinamika dalam kelompok.
               Dan dengan alat bantu berupa ATAP kemudian Saya dapat menyusun Prakarsa perubahan yakni “GeraK CEKaTan Mampu LaRi (Menggerakkan Komunitas Baca di Sekolah untuk Meningkatkan Kemampuan Bernalar Kritis) pada Murid dalam Menghadapi Tantangan Pendidikan Abad 21”
               Hal tersebut sangat penting dilakukan oleh guru untuk menyusun visi harus berpihak pada murid, Dimana perubahan yang dilakukan harus berfokus pada kepentingan murid, murid dan murid. Agar murid dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman serta berprinsip Trikon (Kontinue, Konvergen dan Konsentris.
                   Membutuhkan pemahaman dan kesadaran Kita sebagai guru dalam menempatkan diri pada saat penerapannya di lingkungan sekolah. Karena terkadang Kita tidak menyadari bahwa apa yang Kita lakukan menurut Kita baik namun ternyata membawa dampak buruk bagi murid. Seperti halnya penanaman motivasi pada murid. Diane Gossen dalam bukunya yaitu Restructuring School Dicipline, menyatakan bahwa ada tiga motivasi perilaku manusia yakni: 1) untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, 2) untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, 3) untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Seyogyanya murid menanamkan motivasi dalam dirinya pada poin nomer tiga.
              Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi pada murid-murid untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan mneghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid memiliki motivasi tersebut, mereka memiliki motivasi intrinsic yang berdampak panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai Kebajikan karena ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
       Hal yang tidak kalah penting, perlu dipahami oleh kalangan dunia pendidikan adalah pemberlakukan hukuman, konsekuensi dan restitusi. Sebagai seorang insan cendekia, dimanakah Kita menempatkan diri kita? Ini adalah pertanyaan sederhana namun begitu dalam pemahamannya, serta membutuhkan kesabaran dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari. Disadari atau tidak, terkadang Kita lupa menempatkan diri kita pada posisi kontrol yang mana.
            Dalam menjalankan peraturan atau keyakinan kelas, hukuman merupakan hal bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Sedangkan konsekuensi sudah terencana atau sudah disepakati, sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru, umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya. Konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek. Dan restitusi adalah Proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Proses proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Dan segitiga restitusi adalah sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya saat melakukan restitusi.

REFLEKSI

a. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

         Menurut pemahaman Saya, suasana positif dapat diciptakan apabila segala kegiatan pembelajaran berpihak pada murid, tidak membedakannya, memberikan kemerdekaan belajarnya sehingga murid akan mendapatkan kebahagiaan setinggi-tingginya, sebagaimana pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan berpihak pada murid, dan pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Lingkungan yang aman dan nyaman akan membawa anak-anak pada kemerdekaan belajar hingga menemukan kebahagiaan dalam belajarnya. Lingkungan aman dan nyaman akan tercipta dari suasana positif dengan adanya sikap saling memahami, tanpa ada kekerasan, perundungan. Suasana positif dapat diawali dengan menerapkan budaya positif dari hal terkecil, dan dari pembiasaan-pembiasaan maka di kemudian hari akan terwujud murid dengan karakter profil pelajar Pancasila. Dan untuk menciptakannya, ada hal penting juga harus dipikirkan yakni telah terpenuhinya lima kebutuhan dasar hidup manusia pada murid.
             Dr. William Glasser mengemukakan bahwa "seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan dasarnya". Ketika kelima kebutuhan dasar telah terpenuhi secara memadai maka murid akan tumbuh dengan seimbang dan bahagia, sebaliknya ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi dengan baik, maka seseorang akan mengalami emosi negatif, seperti bosan, sedih, kecewa. Bahkan mereka dapat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan. Artinya perilaku buruk seseorang biasanya adalah respon dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, namun mereka tidak tahu cara untuk menyampaikannya. Ada lima kebutuhan dasar manusia menurut Dr. William Glasser yaitu kebutuhan bertahan hidup (survival), kebutuhan merasa diterima (love and belonging), kebutuhan kebebasan (freedom), kebutuhan kesenangan (fun), kebutuhan penguasaan (powering). Kita sebagai seorang pendidik, sangat penting untuk mengetahui kebutuhan dasar murid, agar tahu alasan dibalik sikap dan tingkap laku mereka, sehingga dapat belajar dengan baik, maka dipastikan kelima kebutuhan dasar telah terpenuihi dengan baik. Dan budaya positif akan terwujud di sekolah.
                 Selain itu, untuk dapat mewujudkan budaya positif, seorang pendidik harus dapat memahami lima posisi kontrol pada dirinya sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam membangun budaya positif di sekolah. Lima posisi control tersebut adalah 1) penghukum, 2) pembuat rasa bersalah, 3) teman, 4) pemantau, 5) manajer.
                 Dan pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan restitusi dalam membimbing murid berdisiplin positif agar menjadi murid Merdeka adalah dengan menggunakan segitiga restitusi. Segitiga Restitusi adalah suatu proses dialog yang dijalankan oleh guru atau orangtua agar dapat menghasilkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Saat guru di posisi manajer, aspek yang dikembangkan pada murid adalah motivasi intrinsik. Sehingga penanaman nilai-nilai kebajikan dapat tumbuh dan berkembang menjadi suatu kebiasaan positif yang akhirnya membentuk karakter murid. Segitiga restitus tersebut antara lain: 1) Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity): Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses, 2) Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbeh). Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut, 3) Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief).
           Keyakinan kelas merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam membangun budaya positif di sekolah. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses yang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain itu, proses ini juga membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan di sekolah. Keyakinan Kelas adalah nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang tertulis tanpa makna. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membuat keyakinan kelas adalah 1) bersifat lebih 'abstrak, daripada peraturan, yang lebih konkrit, 2) berupa pernyataan universal, 3) senantiasa dibuat lebih positif, 4) tidak terlalu banyak sehingga mudah diingat, 5) semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas ini lewat kegiatan curah pendapat, 6) sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. 
              Dr. William Glasser melalui Choice Theory meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna 'kontrol' yaitu yang perlu diluruskan adalah kontrol: 1) Guru mengontrol murid: Sebetulnya kita tidak bisa mengontrol murid jika ia tidak mau, harus ada dorongan sendiri dari diri murid. 2) Penguatan positif efektif dan bermanfaat: Semisal bujukan dan nasihat-nasihat, jika terlalu dalam murid bisa ketergantungan dan tidak mandiri dalam megontrol dirinya. 3) Kritikan dapat membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter: Kalaupun kita harus mengeluarkan kritikan maka kritiklah secukupnya dan kritikan tersebut harus membangun bukan malah membuat murid tidak percaya diri. 4) Orang dewasa memiliki hak untuk memaksa: Menentukan pilihan adalah hak masing-masing manusia.
       Hal tersebut terjadi karena murid memilih untuk mengizinkan dirinya dikontrol. Guru menggunakan bentuk kontrol karena menjadi kebutuhan dasar yang dipilih oleh murid. penguatan positif atau bujukan juga merupakan bentuk kontrol. Upaya untuk mempengaruhi murid agar mengulangi perilaku tertentu sebenarnya merupakan upaya untuk mengontrol murid tersebut. menggunakan kritik dan rasa bersalah sebagai alat kontrol untuk mengontrol murid justru dapat mengarah pada identitas gagal, perilaku memaksa tidak efektif dalam jangka panjang dan dapat menyebabkan hubungan yang tidak harmonis. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
          Berdasarkan uraian tersebut, banyak hal menarik yang saya peroleh, yang utama adalah pemahaman tentang konsep budaya positif, yang dibangun dengan pembiasaan-pembiasaan baik oleh pendidik maupun murid atau secara keseluruhan adalah warga sekolah. Untuk dapat mewujudkan budaya positif, seorang guru harus memahami lima kontrol dalam dirinya dan yang paling utama adalah memahami lima dasar kebutuhan manusia yang harus terpenuhi, karena jika tidak maka budaya positif akan sulit untuk terwujud secara optimal. Dan untuk mewujudkannya, hal yang paling mendasar dapat dilakukan adalah membuat keyakinan kelas atau keyakinan sekolah bersama murid.
              Hal-hal menarik di luar dugaan Saya adalah 1) Saat Saya menerapkan pembuatan keyakinan kelas di kelas Saya. Murid-murid benar-benar antusias diajak membuat keyakinan kelasnya sendiri dan mereka menyadari bahwa sangat penting adanya keyakinan kelas untuk dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri, serta dapat lebih nyaman di kelas serta dapat membangun budaya positif. 2) pengalaman pada saat, ketika ada persiapan kegiatan purnawiyata di sekolah, Saya mencona untuk berkomunikasi dengan salah satu murid Saya yang sekarang sudah duduk di kelas XI. Saya pernah mengajar anak tersebut, ketika itu Saya belum memahami tentang restitusi dan penerapan segitiga restitusi. Anak ini mempunyai permasalahan yaitu sulit tidur di malam hari, dan akibatnya adalah terlambat datang ke sekolah. Saya mencoba berinteraksi dengan anak tersebut dengan menggunakan Langkah-langkah segitiga restitusi yakni menstabilkan identitas, validasi Tindakan salah dan menanyakan keyakinan. Saya mencoba menanyakan apa yang selama ini sering dikeluhkan oleh banyak guru di sekolah, bahwa apa yang dilakukannya pasti punya alasan. Dan berdasarkan hasil mengobrol tersebut Saya menyimpulkan bahwa anak tersebut memiliki kebutuhan dasar kasih sayang dan rasa diterima di dalam kelasnya. Dan kemudian Saya meyakinkannya dengan keyakinan kelas yang telah dilanggar olehnya, sehingga muncul kesadaran baginya untuk segera berubah dan berjanji akan berubah. Setelah beberapa hari dari Kami mengobrol, kepada teman baiknya Dia mengatakan bahwa Dia ingin berubah dan akan menjadi lebih baik dari selama ini yang Dia lakukan.
                Mendengar hal tersebut, Saya sangat bahagia, hal ini membuktikan bahwa penanganan murid menggunakan segitiga restitusi dapat membuat dia menjadi pribadi yang lebih kuat dan berpikir akan menjadi seperti apa yang dia inginkan.

b. Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

              Perubahan yang terjadi pada cara berpikir Saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Saya setelah mempelajari modul ini adalah adalah Saya dapat lebih memahami tentang disiplin positif dalam mewujudkan budaya positif. Selain itu juga, Saya dapat memahami bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh murid yang bertentangan dengan keyakinan kelas/sekolah melalui tahapan segitiga restitusi. Dan murid Saya dapat lebih terbuka dalam mengemukakan kesalahannya dengan tanpa adanya rasa takut dan tekanan. Budaya positif akan terwujud apabila Kita menerapkan displin positif di kelas maupun sekolah dengan berdasarkan pada nilai-nilai Kebajikan yang ada dalam keyakinan kelas/sekolah. Tidak menerapkan hukuman dan konsekuensi sehingga murid dapat benar-benar merasakan kenyamanan ketika di sekolah. Menerapkan segitiga restitusi sebagai upaya restitusi untuk menciptakan kondisi bagi murid dalam memperbaiki kesalahan mereka sehingga dapat kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Dan tentunya ini membutuhkan kolaborasi dan komitmen bersama seluruh warga sekolah serta orang tua.
                 Mewujudkan budaya positif di sekolah bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, namun pelan tapi pasti akan terwujud dengan mengetahui posisi control guru dan memahaminya, kita berada posisi control yang mana selama ini. Seyogyanya Kita dapat senantiasa menempatkan diri pada posisi control manajer karena inilah posisi control yang terbaik, dimana nantinya murid akan menjadi pribadi yang kuat tanpa ada kekerasana fisik maupun psikis yang akan dibawa hingga nanti saat mereka telah menyelasaikan studi di sekolah. Dan sebaiknya kita menghindari posisi penghukum, pembuat rasa bersalah maupun teman, namun sesekali diperbolehkan berada pada posisi pemantau, namun tetap yang terbaik adalah posisi sebagai manajer.

c. Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Ada?

               Pengalaman yang Saya alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul budaya positif di sekolah adalah pada saat:
1) Pembuatan keyakinan kelas, Saya mengajak murid belajar membuat keyakinan kelasnya sendiri. Pada awalnya Saya menjelaskan tentang keyakinan kelas, tujuan dan manfaatnya. Dan anak-anak sangat antusias ketika Saya mengajak mereka membuat keyakinan kelasnya tersebut. Dan dengan adanya keyakinan kelas, murid-murid menjadi paham akan menjadi seperti apa mereka nantinya dengan menerapkan disiplin positif di sekolah. 
https://drive.google.com/file/d/10xbb3NBSBn6J8B1f-i1404yyO5elMOAk/view?usp=sharing
2) Menerapkan segitiga restitusi. Salah satu penerapannya adalah pada ada saat ada persiapan kegiatan purnawiyata di sekolah, Saya mencoba untuk berkomunikasi dengan salah satu murid Saya yang sekarang sudah duduk di kelas XI. Saya pernah mengajar anak tersebut, ketika itu Saya belum memahami tentang restitusi dan penerapan segitiga restitusi. Anak ini mempunyai permasalahan yaitu sulit tidur di malam hari, dan akibatnya adalah terlambat datang ke sekolah. Saya mencoba berinteraksi dengan anak tersebut dengan menggunakan Langkah-langkah segitiga restitusi yakni menstabilkan identitas, validasi Tindakan salah dan menanyakan keyakinan. Saya mencoba menanyakan apa yang selama ini sering dikeluhkan oleh banyak guru di sekolah, bahwa apa yang dilakukannya pasti punya alasan. Dan berdasarkan hasil mengobrol tersebut Saya menyimpulkan bahwa anak tersebut memiliki kebutuhan dasar kasih sayang dan rasa diterima di dalam kelasnya. Dan kemudian Saya meyakinkannya dengan keyakinan kelas yang telah dilanggar olehnya, sehingga muncul kesadaran baginya untuk segera berubah dan berjanji akan berubah. Setelah beberapa hari dari Kami mengobrol, kepada teman baiknya Dia mengatakan bahwa Dia ingin berubah dan akan menjadi lebih baik dari selama ini yang Dia lakukan.

d. Bagaimana perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

                 Saya sangat bahagia, karena Saya dapat mempraktikkan apa yang telah Saya pelajari di modul ini. Dan membuktikan bahwa penerapan budaya positif dengan keyakinan kelas maka Kita dapat menanamkan disiplin positif pada murid, selain itu penanganan murid menggunakan segitiga restitusi dapat membuat dia menjadi pribadi yang lebih kuat dan berpikir akan menjadi seperti apa yang dia inginkan.Dan Saya dapat lebih memahami posisi saya sebagai guru, yang selama ini Saya terapkan. Dan Saya mengetahui bahwa posisi terbaik adalah sebagai manajer. Posisi manajer adalah posisi kontrol yang disarankan untuk membimbing murid untuk memiliki disiplin positif yaitu murid yang mandiri, bertanggung jawab dan dapat memecahkan masalah Tentunya, untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses yang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain itu, proses ini juga membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan di sekolah.
              Pada posisi manajer merupakan posisi ideal yang ingin dituju setiap pendidik karena pada posisi tersebut penerapan disiplin positif dapat diterapkan. Perjalanan seorang pendidik pada posisi seorang manajer tentunya tidak mudah namun tujuan kita pasti yaitu menciptakan murid-murid yang mandiri, merdeka dan bertanggung jawab. Pada posisi manajer ini nantinya akan muncul motivasi intrinsik pada anak. Dan untuk melaksanakan segitiga restitusi ada lima kebutuhan dasar manusia yang harus dimiliki oleh murid, karena murid akan melakukan hal buruk apabila lima kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan baik.

e. Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

               Dalam penerapannya di sekolah, disiplin positif menjadi bagian yang utama untuk mencapai budaya positif, sehingga nantinya akan berdampak pada terwujudnya lingkungan positif di sekolah sehingga murid dapat merasakan kondisi yang aman, nyaman selama di sekolah, dan ini merupakan impian kita sebagai seorang pendidik. Sepemahaman saya, disiplin positif ini diawali dari keyakinan kelas/sekolah yang dipahami oleh seluruh warga sekolah, sehingga nantinya akan terbentuk motivasi intrinsik dalam diri untuk senantiasa melaksanakan apa yang sudah menjadi keyakinan di kelas/di sekolah. 
                 Hal yang sudah baik sudah Saya terapkan di kelas/sekolah adalah dalam setiap pembelajaran, Saya telah menuntun muridnya membuat kesepakatan dalam kelas (dan Saya sudah mencoba untuk mengajak anak membuat keyakinan kelas) dan setiap akhir pembelajaran senantiasa melaksanakan refleksi pembelajaran, hal salah satu wujud Saya dalam melaksanakan pembelajaran berpihak pada muris, namun penerapan disiplin positif masih perlu diperbaiki yakni pada saat menangani permasalahan murid, dari posisi control guru masih di pembuat rasa bersalah, teman maupun pemantau ke posisi manajer.

f. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?

             Selama ini, sebelum Saya mempelajari tentang lima posisi kontrol guru, Saya lebih sering berada pada posisi pembuat rasa bersalah, posisi teman dan posisi pemantau. Dengan memahami materi ini, membuat Saya menjadi orang yang paling bersalah dan menyesal terhadap apa yang sudah Saya lakukan pada masa lampau. Saya menjadi tersadar bahwa selama ini apa yang Saya lakukan pada murid Saya adalah salah dan tidak berpihak pada murid.
                 Saya memakai posisi sebagai manajer dan menerapkan segitiga restitusi untuk menyelesaikan permasalahan murid. Dan Saya merasa lebih nyaman berinteraksi dengan murid, muridpun lebih nyaman saat berinteraksi dengan Saya. Dan Saya merasa lebih baik dan bahagia. Saya menjadi lebih sabar lagi menghadapi murid yang sebelumnya Saya rasakan adalah sering emosi ketika melihat murid berbuat salah. Dan hal ini akan Saya komunikasikan pada rekan sejawat, sehingga seluruh rekan sejawat juga mendapatkan pencerahan bagaimana mengatasi kesalahan murid dengan tanpa menyakiti hati. Saya berasumsi bahwa apabila seluruh guru dapat melaksanakan segitiga restitusi maka lingkungan positif akan segera terwujud dan budaya positif pada akhirnya dapat lebih mudah untuk diwujudkan oleh seluruh warga sekolah.

g. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

              Sebelum mempelajari modul ini, mungkin Saya pernah menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Saya, akan tetapi Saya tidak menyadarinya. Ketika Saya menghadapi murid Saya dengan permasalahannya, biasanya Saya mencari tahu terlebih dahulu latar belakang dari murid Saya tersebut, misalnya kondisi keluarga, perekonomian keluarga, dimana tempat tinggalnya, pergaulan dalam lingkungan dan lain-lain
                Biasanya factor-faktor tersebut yang Saya bawa untuk mengatasi permasalahan mereka. Dan biasanya Saya memanggil anak tersebut, dan yang Saya lakukan hanya menanyakan mengapa Dia melakukan hal tersebut, menghubungkan dengan tata tertib di sekolah, yang mungkin ini bagian dari konsekuensi. Jika anak tersebut belum bisa tertangani, biasanya Saya datang secara personal menemui keluarga sebagai bentuk home visit.

h. Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

           Hal lain yang perlu ditingkatkan lagi yaitu kolaborasi dalam menciptakan budaya positif di sekolah, karena budaya positif ini tidak dapat dilakukan seorang diri. Semua elemen sekolah perlu berkolaborasi dengan harmonis untuk mewujudkan budaya positif sehingga visi sekolah akan lebih cepat terealisasi. Semua komponen sekolah perlu berkontribusi untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Tidak hanya komitmen verbal namun harus dalam bentuk aksi nyata. Jika semua tergerak-bergerak maka akan saling menggerakkan satu sama lain untuk berbuat sesuai nilai-nilai yang diyakini sebagai budaya positif di sekolah.
                 Selain konsep-konsep yang disampaikan di modul, Saya mendapatkan banyak pencerahan dari Fasilitator selama Pendidikan Guru Penggerak ini yakni Bapak Khairul Fauzi dibantu oleh Ibu Muslikhatul Sofiyana sebagai pengajar praktik, tentang kebiasaan-kebiasaan beliau pada saat menfasilitasi kami dalam setiap kegiatan di ruang kolaborasi, seperti membuat kesepakatan kelas online yang selalu disampaikan secara terbuka, dan selalu ada refleksi di setiap akhir pembelajaran, termasuk juga bagaimana Beliau mengakomodasi setiap perbedaan dari kelompok kami dengan adil. Dan kemudian semua pembelajaran dari Beliau, Saya mengadopsinya pada setiap pembelajaran di kelas, sebagai bagian dari keberpihakan pada murid dan budaya positif. Setiap pembelajaran yang disampaikan oleh beliau menjadi inspirasi bagi Saya untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik, tentang bagaimana melaksanakan pembelajaran sesuai filosofi ki Hajar Dewantara, tentang bagaimana menanamkan nilai dan peran guru penggerak, serta merumuskan visi dan prakarsa perubahan guna mendukung terwujudnya budaya positif di sekolah.




 RANCANGAN TINDAKAN UNTUK AKSI NYATA

Judul Modul

:

Pembuatan Keyakinan Kelas dan Penerapan Segitiga Restitusi sebagai Bentuk Penerapan Budaya Positif di SMAN 1 Prajekan Kabupaten Bondowoso 

Nama Peserta

:

Warga Sekolah (Guru dan Staf Tata Usaha) 




Latar Belakang
             Budaya positif adalah sikap, nilai, kepercayaan, dan praktik-praktik yang menciptakan lingkungan yang mendukung dan memotivasi orang untuk berkembang dan berkontribusi secara positif. Hal ini dapat di bentuk dalam keluarga, organisasi, tempat kerja, atau komunitas.
Budaya positif merujuk pada kumpulan norma, nilai, dan kebiasaan positif yang berkembang dalam suatu lingkungan, baik itu di tempat kerja, di sekolah, atau di masyarakat. Budaya positif mengacu pada sikap positif dan perilaku yang di dorong, seperti: menghargai orang lain, bekerja sama, menghormati perbedaan, berpikiran terbuka, mengembangkan hubungan yang sehat, dan fokus pada solusi.
                   “Menciptakan lingkungan positif agar terbentuk suatu budaya positif adalah suatu proses perjalanan pendidikan yang harus kita jalani, karena ini merupakan tanggung jawab kita sebagai seorang pendidik, sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Suatu lingkungan yang aman dan nyaman akan memberikan murid kesempatan dan kebebasan untuk berproses, belajar, membuat kesalahan, belajar lagi, sehingga mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran. Perlu diingat, selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi. Dan salah satu tanggung jawab kita sebagai pendidik adalah menghilangkan atau ‘mencabut’ gangguan-gangguan yang menghalangi proses pengembangan potensi murid.” Untuk dapat mewujudkan budaya positif, salah satu penerapannya yaitu dengan keyakinan kelas dan penerapan restitusi di sekolah. Dan sebagai salah satu upaya peningkatan pemahaman guru dan staf tata usaha di SMAN 1 Prajekan adalah dengan Kegiatan Diseminasi Peningkatan Pemahaman mengenai Budaya Positif melalui Penerapan Pembuatan Keyakinan Kelas dan Penerapan Segitiga Restitusi di SMAN 1 Prajekan Kabupaten Bondowoso,

Tujuan
1.   Untuk meningkatkan pemahaman seluruh warga sekolah tentang budaya positif sehingga dapat mewujudkan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi murid untuk mencapai kemerdekaan belajarnya
2. Untuk mengetahui langkah pembuatan keyakinan kelas dan penerapan restitusi dapat     menumbuhkan disiplin positif pada murid sehingga terwujud budaya positif di sekolah.

Tolok Ukur
1.   Murid memahami pembuatan keyakinan kelasnya sendiri
2.   Terdapat poster/flayer keyakinan kelas, pada masing-masing kelas
3.   Guru/Staf Tata Usaha dapat menerapkan restitusi dengan langkah segitiga restitusi dan mengambil posisi control manager dalam menangani permasalahan murid

Linimasa Tindakan yang Akan Dilakukan
1. Membuat modul rancana tindakan untuk aksi nyata
2. Membuat powerpoint/ bahan presentasi
3. Berkolaborasi dengan rekan sejawat yang memiliki kegelisahan yang sama dalam menerapkan disiplin positif di sekolah
4. Bersama teman sejawat menemui kepala sekolah untuk meminta izin menyampaikan modul dan presentasi rencana aksi nyata.
5. Setelah kepala sekolah mengatur jadwal untuk presentasi di depan seluruh guru dan staf tata usaha
6. Melakukan aksi dari rencana aksi bersama seluruh komponen sekolah berdasarkan program yang telah disusun dalam modul
7. Menampilkan contoh pembuatan keyakinan kelas pada saat aksi nyata
8. Menampilkan contoh penerapan segitiga restitusi pada saat aksi nyata
9. Menampilkan cohtoh kasus yang ada di sekolah, kemudian peserta menganalisis atau memberikan pemecahannya dengan segitiga restitusi

Dukungan yang Dibutuhkan
1. Dukungan dari kepala sekolah untuk menyetujui modul rencana aksi nyata
2. Kolaborasi dengan semua waka sekolah terutama waka sarana dan prasarana dan kesiswaan saat aksi dilakukan
3. Kolaborasi dengan semua guru/staf tata usaha/murid saat rencana aksi nyata dilakukan
4. Pembuatan modul dan powerpoint yang membutuhkan sarana milik sekolah
5. Ruangan untuk diseminasi rencana aksi nyata Peralatan untuk diseminasi






SALAM GURU PENGGERAK
SEMOGA DAPAT TERGERAK, 
SELALU BERGERAK 
DAN SENANTIASA MENGGERAKKAN



Terima kasih setinggi-tingginya kepada:
1. Fasilitator Kelas 052, Bapak Khairul Fauzi
2. Pengajar Praktik Kelas 052B, Ibu Muslikhatul Sofiyana






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar