KESIMPULAN DAN REFLEKSI PEMIKIRAN
KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN
Oleh Anita Dian Sukardi
Calon Guru Penggerak Angkatan
10
SMAN 1 Prajekan, Kabupaten
Bondowoso
Kesimpulan Pemikiran Ki Hajar
Dewantara tentang Pendidikan
Berbicara tentang
pendidikan dan pengajaran, adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Keduanya
memiliki makna yang sama, pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Menurut
Ki Hajar Dewantara dalam Modul 1.1 yang ditulis oleh Rafael (2022: 9) bahwa
pengajaran merupakan proses mentransfer ilmu bermanfaat kepada peserta didik
sehingga mereka dapat mengetahui dan memahami suatu materi atau informasi,
sedangkan pendidikan merupakan proses membentuk karakter baik (menebalkan
karakter baik, memburamkan karakter buruk).
Saat ini seluruh
rakyat Indonesia, memiliki hak yang sama dalam hal Pendidikan dan pengajaran.
Berdasarkan Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 31 Ayat 1 berbunyi bahwa
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jika kita kilas balik pada
peristiwa masa lalu tentang sejarah pendidikan yang ada di Indonesia yakni
Pendidikan pada masa Kolonial Belanda, diantaranya: 1) Tahun 1854, beberapa
bupati menginisiasi berdirinya sekolah kabupaten, namun hany mendidik calon
pegawai saja, 2) masih di tahun yang sama, lahir sekolah-sekolah Bumiputera,
yang terdiri dari tiga kelas saja, selain itu pengajarannya juga terbatas pada
membaca, menulis dan berhitung seperlunya dan hanya mendidik orang-orang
pembantu dalam mendukung usaha mereka, 3) Pemerintah Hindia Belanda memberikan
peluang pada calon mudir dokter Jawa untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran, hal itu karena adanya wabah penyakit cacar yang dialami masyarakat
terutama di Jawa Tengah, Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir jika wabah
tersebut tidak segera dihentikan akan berpengaruh pada hasil panen mereka. Lalu
pada tahun 1920, lahir cita-cita baru untuk perubahan radikal pendidikan dan
pengajaran. Tahun 1922, lahirlah Taman Pendidikan yakni Taman Siswa di
Yogyakarta, dan ini merupakan gerbang
emas kemerdekaan dan kebudayaan bangsa, jiwa rakyat untuk merdeka dan bebas. Taman Siswa
didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Beliau lahir di Yogyakarta dengan nama
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, pada tanggal 2 Mei 1889, dibesarkan dalam lingkungan keraton
Pakualam Yogyakarta. Sejak Tahun 1922,
Soewardi Soerjaningrat memakai nama Ki Hajar Dewantara.
Dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, antara lain: 1) menuntun, 2) bukan tabula rasa, 3) kodrat alam dan kodrat zaman, 3) budi pekerti, 4) pendidikan berpihak pada anak.
1.
Menuntun
(Pendidik Diibaratkan sebagai Petani atau Tukang Kebun Kehidupan)
Dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara yang pertama adalah menuntun. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat pada anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai diri sendiri maupun anggota masyarakat. Seperti semboyan Ki Hajar Dewantara yakni Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan) yakni guru memahami secara utuh tentang apa yang dapat ia bantu kepada anak didik, menjadi teladan dalam budi pekerti dan tingkah laku, Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun kehendak) yakni guru diharapkan mampu membangkitkan semangat, berkreasi dengan anak didik dan berperan sebagai narasumber dan penuntun, Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) yakni selain memberikan motivasi, guru juga memberikan saran sehingga anak didik dapat mengeksplorasinya kemampuannya. Dalam proses menuntun disini, pendidik memberikan kebebasan kepada anak didiknya dalam bereksplorasi, namun demikian tetap harus menjadi pamong, agar anak didik tidak kehilangan arah yang nantinya dapat membahayakan dirinya.
Ibarat benih-benih yang disemai, maka pendidik adalah petani atau tukang kebun kehidupan, dan benih yang ditanam adalah anak didiknya. Petani atau tukang kebun merawat benih-benih tersebut sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Jika diibaratkan dengan benih berbagai jenis tanaman, maka masing-masing benih tanaman tersebut memiliki karakteristik berbeda, sehingga perlakuannya juga beda, hal tersebut bertujuan agar nantinya akan tumbuh tanaman yang optimal hasilnya. Merawat disini memiliki arti menuntun, jadi pendidik menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat pada anak-anak agar mereka dapat memperbaiki lakunya hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak, sehingga mereka dapat menemukan kemerdekaan belajarnya dan pada akhirnya akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan diri. Yang perlu diketahui oleh seorang pendidik adalah anak bukanlah tabula rasa.
2.
Bukan Tabula
Rasa
Tabula rasa berasal dari bahasa latin yang artinya kertas kosong. Hal ini dapat dijelaskan bahwa manusia terlahir ibaratnya lembar kosong. Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa anak bukanlah tabula rasa, artinya anak dilahirkan ke dunia sudah memiliki kekuatan kodrat yang masih samar, dan pendidik sebagai penuntun anak untuk menebalkan garis yang samar-samar tersebut agar dapat memperbaiki lakunya untuk menjadi manusia seutuhnya. Sejak lahir, anak telah memiliki sifat atau karakter yang diturunkan dari orang tuanya, yang disimpan dalam gennya masing-masing. Tugas orang tua di rumah dan pendidik/guru di sekolah untuk menebalkan sifat/sikap/karakter baiknya dan memburamkan yang kurang baik sehingga karakter baik akan berkembang optimal menjagi karakter unggul dari masing-masing individu. Mendidik anak, menurut Ki Hajar Dewantara harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya.
3.
Kodrat Alam
dan Kodrat Zaman
Mendidik anak, menurut Ki Hajar Dewantara
harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada anak sesuai dengan potensi, bakat dan minat anak serta
kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya.
Demikian pula dengan kodrat zaman bahwa
mendidik harus sesuai dengan zamannya, seperti misalnya saat ini kita memasuki
zaman digital maka pasti akan berhadapan dengan anak-anak yang tidak bisa jauh
dengan android, komputer dan barang-barang digital lainnya. Maka pendidik harus
siap dengan segala perubahan tersebut sehingga dapat memberikan pengajaran dan
pendidikan pada anak mewujudkan kemampuannya untuk memiliki keterampilan abad 21.
Pendidikan dan kebudayaan adalah hal yang
juga tidak dapat dipisahkan. Kekuatan sosiokultural yang dimiliki oleh
masing-masing daerah dapat menjadi sarana bagi pendidik untuk memberikan
penguatan pada kodrat alam dan kodrat zaman. Karena kekuatan sosiokultural ini
dapat menjadi pelindung atau pertahanan diri bagi anak dalam menghadapi pengaruh
budaya asing yang sulit dihindari. Kearifan lokal yang terkandung dalam sosiokultural
masing-masing daerah dapat menebalkan karakter unggul yang menjadi visi dan misi sekolah.
Misalnya, dalam kesenian daerah Madura yakni Ronjhengan. Ronjhengan merupakan
permainan musik yang khas di kalangan ibu-ibu petani, hal tersebut
menggambarkan kegembiraan dan rasa syukur karena panen padi. Sambil menumbuk padi
wanita-wanita petani itu mempermainkan gentongnya (alu) ke sisi ronjhengan
sehingga menimbulkan suara. Bunyi yang ditimbulkan oleh gentong-gentong (alu)
yang dipukulkan pada sisi ronjhengan itu menimbulkan bunyi-bunyi yang
bersifat menghibur kelelahan mereka. Sambil mempermainkan gentong- gentong para
penumbuk padi, dapat menimbulkan bunyi yang beraneka ragam dan serasi, sehingga
menguatkan mereka untuk menumbuk padi selama mungkin.
Makna yang terkandung dalam kesenian
tersebut adalah Ronjhengan sebagai salah satu kekayaan budaya memiliki nilai
yang relevan terhadap pemikiran KHD utamanya sebagai upaya menebalkan kodrat
siswa melalui pendidikan seni dan kebudayaan. Dengan mempelajari dan memahami
budaya Ronjhengan siswa dapat terbentuk karakternya seperti sikap gotong
royong yang kuat dan juga pemikiran kreatif dalam seni, serta terbentuknya
identitas nasional dengan mencintai kebudayaan lokal itu sendiri. Pendidik
dapat menebalkan kekuatan kodrat (alam dan zaman) anak melalui kekuatan kodrat
sosiokultural yang dimiliki di daerahnya. Jika diimplementasikan dalam kelas,
maka karakter yang akan muncul: gotong royong (melalui kerjasama menghasilkan
irama gerakan lesung), berkebhinekan global (melalui sikap menghargai sesama
dan tanggung jawab masing-masing dalam irama tabuhan lesung), kreatif
(menciptakan irama yang indah didengar)
Kekuatan sosiokultural menurut Ki Hajar Dewantara dapat menjadi kekuatan kodrat alam dan kodrat zaman dalam mendidik. Salah satu kodrat anak yang tidak dapat kita pungkiri adalah bermain, permainan anak dapat menjadi bagian pembelajaran di sekolah. Dalam permainan tersebut dapat mengintegrasikan kekuatan sosiokultural yang sekaligus dapat dapat membentuk anak memiliki budi pekerti yang luhur.
4.
Budi Pekerti
Budi pekerti terdiri dari dua suku kata
yakni budi yang artinya pikiran/kognitif (cipta), perasaan/emosi-relasi (rasa)
dan kemauan/kehendak (karsa), sedangkan pekerti artinya
tenaga/perilaku/karya/bakti (raga). Budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara merupakan
perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak sehingga menimbulkan
tenaga. Selain itu juga, budi pekerti dapat diartikan sebagai perpaduan antara
cipta (kognitif), karsa (afektif) sehingga menghasilkan karya (psikomotorik).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Modul
1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional (Rafael, 2022:13) bahwa keluarga
merupakan tempat utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan
karakter seorang anak. Sebagai tempai bersemainya pendidikan yang sempurna bagi
seorang anak maka selain sebagai selain untuk melatih budi pekerti, keluarga
juga merupakan ekosistem kecil untuk mempersiapkannya belajar baik dalam
bermasyarakat dalam skala kecil maupun luas.
Di sekolah, pendidik menjadi penuntun anak untuk menebalkan karakter baiknya. Dan untuk itu, baik pendidik maupun orang tua harus berkolaborasi dalam menuntun anak untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dirinya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pendidikan harus berpihak pada anak.
5.
Pendidikan
Berpihak pada Anak
Pendidikan berpihak pada anak adalah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak sesuai dengan potensi, bakat dan minat yang dimiliki oleh masing-masing anak. Ini menekankan pada pentingnya memahami dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing individu, dan pendidik disini berperan dalam memberikan pendekatan secara personal dan diferensial sesuai kebutuhan masing-masing anak didik.
Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Setelah memahami intisari pemikiran Ki Hajar
Dewantara, ada beberapa hal yang dapat Saya simpulkan dan refleksikan adalah:
A. Sebelum Saya
mempelajari Modul 1.1, pemahaman Saya tentang murid/anak didik dan pembelajaran
adalah:
1) Anak didik adalah tabula rasa atau kertas kosong,
Anak sejak lahir diibaratkan kertas kosong untuk diisi informasi.
2) Setiap anak memiliki kemampuan yang sama, sehingga
perlakuannya juga sama
3) Memaksakan diri agar materi pelajaran dapat selesai
semuanya, tanpa memikirkan kondisi anak didik
4) Pembelajaran berpusat pada guru, dengan metode ceramah,
karena hanya dengan cara tersebut materi dapat tersampaikan semuanya pada anak.
Dan pendidikan tidak berpihak pada anak sama sekali
B. Setelah
Saya mempelajari Modul 1.1, ternyata banyak hal yang dapat Saya pahami, antara lain:
1) Menuntun,
dalam hal menuntun anak didik, Saya merasa telah melakukannya pada mata
pelajaran yang Saya ampu, selain itu juga Saya menuntun anak didik yang tergabung dalam ekstrakurikuler Kelompok Peneliti Ilmiah Remaja (KPIR) yakni
pada saat pembuatan karya tulis ilmiah.
a. Meskipun sederhana, Saya sudah membuat kesepakatan
kelas yang Saya beri nama Kontrak Belajar Biologi. Saya menempelkan kontrak
belajar tersebut di kelas-kelas yang Saya ampu. Dalam kontrak belajar tersebut,
terdapat poin-poin yang berisikan kesepakatan bersama anak didik, selain itu
juga terdapat poin refleksi bagi anak didik Saya, apabila ada diantara mereka
yang melanggarnya. Diantara mereka yang mengisi poin refleksi, pada umumnya
adalah pelanggaran tidak mengumpulkan tugas sesuai kesepakatan waktu. Secara
rutin, Saya membuka refleksi yang ditulis oleh anak didik Saya, lalu memberikan
bimbingan secara khusus pada mereka.
Gambar 1. Kegiatan Membimbing dalam Pembelajaran Biologi Materi Kingdom Plantae
b. Untuk Kelompok Peneliti Ilmiah Remaja (KPIR), Saya memberikan waktu khusus untuk membimbing mereka. Dalam hal pembuatan karya tulis ilmiah ini, biasanya Saya memberikan keleluasaan pada anak didik untuk membuatnya sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing, dan Saya yang akan menyesuaikan diri terhadap alur berpikir mereka. Awalnya memang Saya mengalami kesulitan untuk ini, karena memang tidak mudah bagi siswa taraf sekolah menengah atas, untuk membuat karya tulis ilmiah. Pelan tapi pasti, dengan dibimbing penuh kesabaran maka mereka dapat membuat karya tulis tersebut dengan mudah. Hal ini dapat dilihat dari prestasi yang telah diraih oleh anak didik Saya, dalam kurun waktu dua tahun ini, beberapa prestasi yang diraih antara lain: Juara Harapan 1 Tingkat Provinsi Jawa Timur dalam Ajang Seleksi Peneliti Millenial Tahun 2023, Juara 1 dan 3 Tingkat Provinsi Jawa Timur Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam Kegiatan Semarak Fikes ke 30 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Jember Fakultas Ilmu Kesehatan, Juara 2 dan Harapan 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Karisidenan Besuki dalam Rangka Doies Natalis Universitas Abdurahman Saleh Situbondo.
Gambar 2. Membimbing Siswa dalam Pembuatan Karya Tulis Ilmiah2) Namun Saya juga melakukan banyak kesalahan dalam proses pembelajaran bersama anak didik. Saya melakukan beberapa kesalahan, antara lain: a) memberlakukan semua anak didik sama, tanpa mengidentifikasi karakteristiknya terlebih dahulu, b) sering melaksanakan pembelajaran berpusat pada guru yakni menggunakan metode ceramah, c) marah jika anak didik berbuat kesalahan tanpa mengetahui alasan mereka, d) pembelajaran tidak berpihak pada anak, salah satu contohnya menyeragamkan tugas anak tanpa memandang bahwa mereka memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda, e) masih seringkali melupakan kodrat alam dan kodrat zaman
3) dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan Saya sebagai pendidik jika direlevansikan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan.
C.
Dan untuk
itu, Saya harus segera membenahi hal tersebut, dengan segera merefleksikan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan dalam pola mengajar dan mendidik Saya
pada anak-anak didik, antara lain:
1) Meningkatkan pemahaman Saya tentang pemikiran Ki
Hajar Dewantara tentang menuntun. Saya akan meningkatkannya dengan melakukan
tahapan-tahapan berdasarkan pengalaman Saya selama mendapatkan materi Modul
1.1 ini, yaitu membuat kesepakatan di
setiap mulai pembelajaran.
2) Mengidentifikasi karakteristik anak didik berdasarkan
potensinya masing-masing, misalnya mengidentifikasi gaya belajar masing-masing
anak, agar Saya dapat mengakomodir seluruh anak didik sesuai kebutuhannya.
Sehingga dapat dihasilkan pendidikan yang berpihak pada anak dan hal ini erat
kaitannya dengan pembelajaran berpusat pada siswa. Hal ini agar Saya dapat
mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan diri serta untuk memperoleh kemerdekaan
belajar pada anak didik Saya.
3) Menambah referensi model pembelajaran berpusat pada
siswa, memahami dan mempraktikkannya di kelas. Meyakini bahwa, guru bukanlah
satu-satunya sumber belajar. Guru di kelas berperan sebagai fasilitator dan
pemeran utamanya adalah anak didik. Hal yang dapat Saya lakukan adalah dengan
memberikan ruang pada mereka untuk bereksplorasi, namun Saya tetap menjadi
penuntun agar mereka tidak kehilangan arah yang dapat membahayakan dirinya.
4) Memahami tentang kodrat alam dan kodrat zaman sehingga dapat dengan mudah diimplementasikan dalam kelas. Saya sebagai pendidik, harus peka terhadap situasi dan kondisi yang terjadi, salah satunya adalah peka terhadap kemauan anak didik Saya yang notabene merupakan generasi tidak lepas dari digitalisme. Maka Saya harus segera beradaptasi dengan juga melakukan perubahan tersebut namun tetap menjaga norma-norma sehingga keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan dapat terwujud sesuai harapan. Keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan dapat terwujud, melalui cara mengenalkan dan mengintegrasikan sosiokultural daerah sebagai wahana untuk menebalkan karakter unggul anak utnuk meningkatkan budi pekerti luhur. Ada banyak sosiokultutal di daerah Saya yang dapat dikenalkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di kelas serta melalui kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tujuannya adalah untuk mengambil nilai-nilai positif yang terkandung dalam budaya tersebut, dapat dianalogikan dengan karakter-karakter unggul yang ingin diwujudkan dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu contohnya mengenalkan kesenian khas dari Desa Prajekan Lor yang bernama Ronjhengan.
Gambar 3. Para Wanita Bermain RonjhenganSeperti yang telah Saya uraikan pada paragraf sebelumnya tentang kesenian ini, bahwa nilai-nilai karakter yang dapat diperoleh antara lain: gotong royong (melalui kerjasama menghasilkan irama gerakan lesung), berkebhinekan global (melalui sikap menghargai sesama dan tanggung jawab masing-masing dalam irama tabuhan lesung), kreatif (menciptakan irama yang indah didengar). Selain Ronjhengan, ada banyak sosiokultural yang dapat dianalogikan dengan penguatan karakter di sekolah, dan sudah barang tentu yang bisa dilaksanakan dan dipraktikkan oleh anak didik tanpa memberatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar