Senin, 20 Januari 2025

Guru Bermutu: Tantangan dan Solusinya

GURU BERMUTU: TANTANGAN DAN SOLUSINYA

Oleh

ANITA DIAN SUKARDI, S.Pd., M.Pd.

 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan hal yang paling bermakna di dunia ini. Setiap individu memiliki hak yang sama dalam memeroleh pendidikan. Mari kita kembali mengingat Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Lalu seperti apakah pendidikan yang dimaksud? Tentu, pertanyaan ini menjadi tanggung jawab Kita untuk menjawab dan mewujudkannya.

Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tercantum dalam Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, tentunya bukan hal mudah namun juga bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, sebab dari jaman ke jaman pendidikan memiliki tantangannya tersendiri. Seperti yang terjadi tahun 2020, saat Indonesia mengalami pandemi Covid 19, hingga berdampak pada dunia pendidikan yang dikenal dengan istilah “learning loss”, dan sampai saat ini masih terasa dampaknya. Learning Loss atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti kehilangan pembelajaran, adalah suatu kondisi seseorang dan atau kelompok yang mengalami penurunan kemampuan belajar.

Kemampuan belajar yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk memeroleh, memroses, menyimpan dan menerapkan informasi baru. Tentunya hal tersebut merupakan kondisi kompleks,  yang dialami sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada kemampuan pengetahuan, keterampilan proses dan sikapnya. Learning Loss yang terjadi akibat pandemi Covid 19, secara umum murid mengalami kegagalan dalam memahami informasi tentang konsep atau materi pelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran dilaksanakan secara daring. Sebab, tidaklah sama apabila pembelajaran dilakukan secara tatap muka, meskipun teknologi dapat menyediakan seluruh informasi yang diperlukan oleh murid, namun teknologi tidak akan mampu menggantikan kehadiran guru. Karena guru tidak hanya mengajarkan suatu ilmu, namun juga mendidik dan menanamkan nilai-nilai budi pekerti, melaksanakan pembelajaran sosial emosional dan budaya positif yang sangat diperlukan oleh murid dalam menghadapi perubahan jaman.

Selain itu, kemampuan pengetahuan, keterampilan proses dan sikap merupakan satu kesatuan yang bersifat simbiotik, artinya ketiganya saling berhubungan. Kemampuan pengetahuan ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi sebuah informasi, sedangkan keterampilan proses adalah kemampuan seseorang dalam melakukan kegiatan hasil dari memahami konsep tersebut, sedangkan sikap merupakan kondisi yang terjadi pada seseorang dalam merespon pemahaman dan keterampilan prosesnya sehingga memunculkan motivasi intrinsik dalam dirinya. Motivasi intrinsik merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan hal-hal yang dipahami karena tertarik, berminat hingga pada akhirnya akan mencapai kepuasan tersendiri dalam dirinya, bukan dari dorongan faktor eksternal. 

Dan saat mengalami learning loss, murid tidak akan dapat memeroleh ketiganya secara langsung, mereka lebih cenderung hanya dapat memeroleh kemampuan pengetahuan, karena dapat dilakukan secara mandiri, sumber belajarpun bisa diperoleh dimana saja (dari internet), karena guru bukanlah sumber belajar satu-satunya yang dimiliki oleh murid. Namun yang umumnya terjadi, murid kesulitan memahami sebuah konsep apabila belum mendapatkan penguatan dari seorang guru. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kemampuan keterampilan prosesnya, karena keduanya saling berkaitan, artinya bila murid tidak dapat memahami sebuah konsep maka keterampilan prosesnya pun juga cenderung rendah. Dalam kaitannya dengan keterampilan proses, bila dihadapkan pada materi sains yang erat hubungannya penggunaan alat dan bahan di laboratorium, murid mungkin akan merasa kesulitan dalam menerapkannya karena tidak semua murid memiliki sarana dan prasarananya di rumah masing-masing, meskipun murid dapat secara kreatif menerapkan hasil pemahaman materi pembelajaran dengan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan dengan alat dan bahan seadanya di rumah, namun secara umum kondisi learning loss menyebabkan kreatifitas murid menjadi sangat berkurang, hal ini pula yang menyebabkan kemampuan keterampilan proses murid menjadi menurun. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan kemampuan sikap, secara umum rendahnya kemampuan pengetahuan dan keterampilan proses akan berdampak pada kemampuan sikap murid, yakni pada minat, motivasi belajarnya maupun karakter sopan santunnya terhadap guru.

 

Teknologi, Digital Native dan Disrupsi. Apa Hubungan dari Ketiganya?

Meski pandemi Covid 19 telah berlalu, namun dampaknya masih ada hingga saat ini. Seiring perubahan jaman dengan teknologi yang semakin maju, kondisi disrupsi sudah pasti dialami oleh sebagian besar guru. Disrupsi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal yang tercabut dari akarnya. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau perubahan mendasar dan signifikan yang dapat mengguncang dan mengubah tatanan kehidupan yang sudah ada secara drastis, salah satu penyebabnya adalah teknologi.

Teknologi menggantikan seluruh aspek kehidupan, terutama bidang pendidikan. Pembelajaran digantikan dengan teknologi berupa smartphone, laptop atau komputer. Karakteristik murid yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan 2012 atau biasa disebut Generasi Z (Gen Z), juga memberikan pengaruh besar terhadap penggunaan teknologi.

Beberapa karakter yang dimiliki Gen Z yakni digital native  artinya mereka merupakan golongan yang sangat mahir dalam menggunakan teknologi digital seperti smartphone, aktif dalam media sosial serta perbagai aplikasi lainnya. Mereka secara mandiri dapat dengan mudah mempelajari dan menggunakan teknologi tersebut tanpa merasa kesulitan, hingga pada akhirnya mereka menjadi merasa handal dan kurang mempedulikan kehadiran seorang guru, dan seketika itu guru mengalami yang namanya disrupsi. Dan guru, jangan pernah mengalami hal ini.

Guru tetap harus menjadi role model bagi murid-muridnya di sekolah, dan seyogyanya jangan sampai mengalami disrupsi. Justru sebaliknya, banyak hal yang harus dilakukan oleh guru dalam mendidik murid untuk menghadapi tantangan digital native yang secara umum akan dialami oleh murid-muridnya, antara lain: 1) FOMO (Fear of Missing Out) yakni suatu tekanan untuk selalu terhubung serta mengikuti tren-tren baru, 2) cyberbullying, 3) ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya sendiri dan orang lain, 4) sulit membedakan informasi benar atau salah.

 

Lalu apa yang Sebaiknya Dilakukan oleh Guru dalam Menghadapi Digital Native?

Digital native tidak boleh menghilangkan jati diri seorang guru, namun sebaliknya justru menjadikannya sebagai tantangan untuk meningkatkan mutu kita sebagai guru. Untuk menjadi guru yang bermutu, tentunya bukan hal mudah. Jati diri seorang guru artinya adalah seorang guru tidak hanya sekedar menyampaikan materi, namun juga memiliki karakteristik berikut: 1) memahami filsafat pendidikan yakni pandangan tentang tujuan pendidikan dan mewujudkan proses pembelajaran yang ideal, 2) memiliki keterampilan paedagogis yakni kemampuan dalam pengelolaan kelas serta interaksi dengan murid, 3) memahami dan mengelola emosi diri dan murid dengan baik melalui pelaksanaan pembelajaran sosial emosional di sekolah, 4) serta menanamkan nilai-nilai budi pekerti baik pada murid.

Murid memang sangat akrab dalam teknologi, mereka dapat dengan mudah mengakses banyak hal serta mampu belajar secara mandiri. Namun teknologi hanyalah sebuah alat, dan guru tetap memiliki peran yang krusial dalam pendidikan, yakni dalam hal membimbing penggunaan teknologi sehingga murid dapat memilih alat dan aplikasi yang sesuai dengan materi dan kondisi mereka masing-masing, serta menanamkan etika digital agar murid dapat memilih dan memilah penggunaan teknologi dengan bijak sehingga mereka akan terhindar dari penyalahgunaan teknologi yang dapat menjerat mereka pada tindakan negatif,  selain itu juga mengajarkan keterampilan digital agar murid dapat menggunakan perangkat lunak, serta platform pembelajaran.

Kehadiran digital native, harus menjadi peluang atau kekuatan bagi guru untuk upgrade diri menjadi lebih bermutu, dengan melakukan hal-hal berikut: 1) berinovasi, dalam hal menggunakan teknologi untuk mewujudkan pembelajaran yang menarik dan efektif bagi generasi Z, 2) berkolaborasi dengan murid  dalam proses pembelajaran, dengan memberikan peluang bagi mereka untuk mengeksplorasi diri dengan baik, 3) terus belajar dan meningkatkan kompetensi diri serta berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran serta berpihak pada murid, murid dan murid.

Guru juga harus lebih peka terhadap keadaan dan menyadari bahwa kaitannya dengan teknologi, ada banyak hal perlu diperhatikan bahwa 1) bisa saja terjadi kesenjangan digital terjadi pada murid karena tidak semua dari mereka memiliki akses yang sama terhadap teknologi, 2) penggunaan teknologi berlebihan dapat berdampak negatif pada murid, 3) guru bukan lagi pusat informasi melainkan sebagai fasilitator.

 

Bagaimana menjadi Guru Bermutu, Tantangan dan Solusinya?

Agar menjadi guru bermutu serta tidak kehilangan jati diri di tengah disrupsi, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE). KSE merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan mengelola emosi dirinya, membangun relasi positif dengan berbagai pihak, serta pengambilan keputusan tepat dan bertanggung dalam berbagai situasi. KSE merupakan kemampuan seseorang untuk membangun relasi dengan pihak lain dan hidup berdampingan secara harmonis.

Secara umum, KSE mencakup lima aspek utama, yakni: 1) kesadaran diri (Self-Awareness), artinya memahami emosi, kekuatan, kelemahan, dan nilai-nilai diri sendiri, 2) pengelolaan diri (Self-Management), artinya mengelola emosi, pikiran, dan perilaku secara efektif untuk mencapai tujuan, 3) kesadaran sosial (Social Awareness), artinya memahami perspektif orang lain, empati, dan menghargai keragaman, 4) keterampilan sosial (Relationship Skills), artinya membangun dan memelihara hubungan yang positif, berkomunikasi secara efektif, dan bekerja sama, 5) pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Responsible Decision-Making), artinya membuat pilihan yang baik berdasarkan nilai-nilai dan konsekuensi.

Mengapa Kompetensi Sosial Emosional (KSE) ini sangat penting untuk ditingkatkan? Berikut penjelasannya, 1) menguasai teknologi dengan terus belajar dan “melek” teknologi, dalam hal ini guru dituntut untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang cepat, dengan kompetensi sosial emosional maka guru dapat lebih mudah untuk mengendalikan diri, mengatasi stress dengan sebaik-baiknya serta memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah yang kompleks, jika hal ini dapat dilakukan maka guru dapat dengan mudah dan siap dalam menghadapi tantangan baru dalam dunia pendidikan, 2)  guru adalah model peran (role model) bagi muridnya, dengan menguasai kompetensi sosial emosional maka guru dapat menjadi contoh yang baik baik bagi muridnya dalam hal mengelola sosial emosionalnya sehingga dapat membuat keputusan yang bijak, 3) berjiwa inovatif dan mau keluar dari zona nyaman serta terus belajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, dengan penguasaan sosial emosional sehingga tercipta suasana belajar yang nyaman dan kondusif, 3) membangun hubungan positif dengan memperkuat ikatan kolaborasi dengan sesama guru, orang tua dan terutama dengan murid, hal ini sangat penting dilakukan dengan meningkatkan kompetensi sosial emosional sehingga terbentuk komunikasi efektif, dan empati yang tinggi dalam diri seorang guru sehingga mampu memberikan keputusan yang bijak bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 

Meningkatkan kompetensi sosial emosional, dapat dilakukan dengan cara 1) mengikuti pelatihan dan pengembangan diri secara mandiri yang fokus pada pengembangan keterampilan sosial emosional guru, misalnya mindfulness (kesadaran penuh) dan meditasi, coaching untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan komunikasi, dan pembelajaran kolaboratif sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama, 2) mengoptimalkan komunitas belajar baik di tingkat sekolah maupun komunitas praktisi lainnya yang ada di kabupaten, provinsi maupun nasional, 3) membuka diri untuk terus belajar guna meningkatkan cakrawala berpikir utamanya dalam mengelola sosial emosional diri.

 

Kesimpulan

Digital native, sebetulnya tidak menghilangkan jati diri guru, guru tetaplah menjadi sosok yang penting dalam proses pembelajaran. Agar hal tersebut dapat bersinergi dengan baik, maka kunci kesuksesannya adalah dengan menggabungkan antar keduanya yakni kekuatan teknologi dengan kehangatan manusia. Agar hal tersebut terwujud, maka guru harus mau belajar dan membuka diri menerima perubahan dengan senantiasa beradaptasi sehingga digital native tidak mengubah peran guru.

Dengan upgrade diri menjadi guru bermutu, apapun tantangannya dan menemukan solusinya sehingga guru tetap memiliki marwah di dunia pendidikan, serta menjadi sosok yang dirindukan oleh murid-muridnya. Selain itu, tidak takut untuk berubah dan keluar dari zona nyaman, serta memperluas jejaring sosial dengan komunitas praktisi, sehingga menambah cakrawala berpikir untuk terus belajar.

Meningkatkan keterampilan sosial emosional adalah juga tidak kalah pentingnya untuk menjadi guru bermutu, karena hal tersebut dapat meningkatkan kualitas pembelajaran serta menciptakan generasi yang lebih siap di masa depan, mereka tidak hanya mahir dalam teknologi namun juga memiliki budi pekerti luhur yang dapat menjadi kontrol dalam pemanfaatannya.

Mari menjadi guru bermutu, di tengah disrupsi, tidak takut akan perubahan serta adaptif, karena teknologi tidak bisa menggantikan kehadiran guru, karena guru tidak hanya mengajarkan ilmu namun juga mendidik murid sesuai kodrat alam dan jamannya, sehingga nantinya akan terbentuk generasi emas kebanggaan Bangsa Indonesia.