GURU BERMUTU: TANTANGAN
DAN SOLUSINYA
Oleh
ANITA DIAN SUKARDI,
S.Pd., M.Pd.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang paling bermakna di dunia ini. Setiap
individu memiliki hak yang sama dalam memeroleh pendidikan. Mari kita kembali
mengingat Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menjelaskan bahwa setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan. Lalu seperti apakah pendidikan yang
dimaksud? Tentu, pertanyaan ini menjadi tanggung jawab Kita untuk menjawab dan
mewujudkannya.
Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang tercantum dalam Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, tentunya bukan hal mudah
namun juga bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, sebab dari jaman ke jaman
pendidikan memiliki tantangannya tersendiri. Seperti yang terjadi
tahun 2020, saat Indonesia mengalami pandemi Covid 19, hingga berdampak pada
dunia pendidikan yang dikenal dengan istilah “learning loss”, dan sampai saat ini masih terasa dampaknya. Learning Loss atau jika diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia berarti kehilangan pembelajaran, adalah suatu kondisi seseorang
dan atau kelompok yang mengalami penurunan kemampuan belajar.
Kemampuan belajar yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk
memeroleh, memroses, menyimpan dan menerapkan informasi baru. Tentunya hal
tersebut merupakan kondisi kompleks,
yang dialami sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada kemampuan
pengetahuan, keterampilan proses dan sikapnya. Learning Loss yang terjadi akibat pandemi Covid 19, secara
umum murid
mengalami kegagalan dalam memahami informasi tentang konsep atau materi
pelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran dilaksanakan secara daring. Sebab,
tidaklah sama apabila pembelajaran dilakukan secara tatap muka, meskipun
teknologi dapat menyediakan seluruh informasi yang diperlukan oleh murid, namun
teknologi tidak akan mampu menggantikan kehadiran guru. Karena guru tidak hanya
mengajarkan suatu ilmu, namun juga mendidik dan menanamkan nilai-nilai budi
pekerti, melaksanakan pembelajaran sosial
emosional dan budaya positif yang sangat diperlukan oleh murid dalam menghadapi
perubahan jaman.
Selain itu, kemampuan pengetahuan, keterampilan proses dan sikap
merupakan satu kesatuan yang bersifat simbiotik, artinya ketiganya saling
berhubungan. Kemampuan pengetahuan ini merupakan kemampuan seseorang untuk
mengingat, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi sebuah informasi,
sedangkan keterampilan proses adalah kemampuan seseorang dalam melakukan
kegiatan hasil dari memahami konsep tersebut, sedangkan sikap merupakan kondisi
yang terjadi pada seseorang dalam merespon pemahaman dan keterampilan prosesnya
sehingga memunculkan motivasi intrinsik dalam dirinya. Motivasi intrinsik
merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan hal-hal yang dipahami
karena tertarik, berminat hingga pada akhirnya akan mencapai kepuasan
tersendiri dalam dirinya, bukan dari dorongan faktor eksternal.
Dan saat mengalami learning
loss, murid tidak akan dapat memeroleh ketiganya secara langsung, mereka
lebih cenderung hanya dapat memeroleh kemampuan pengetahuan, karena dapat
dilakukan secara mandiri, sumber belajarpun bisa diperoleh dimana saja (dari
internet), karena guru bukanlah sumber belajar satu-satunya yang dimiliki oleh
murid. Namun yang umumnya terjadi, murid kesulitan memahami sebuah konsep
apabila belum mendapatkan penguatan dari seorang guru. Hal tersebut akan sangat
berpengaruh pada kemampuan keterampilan prosesnya, karena keduanya saling
berkaitan, artinya bila murid tidak dapat memahami sebuah konsep maka
keterampilan prosesnya pun juga cenderung rendah. Dalam kaitannya dengan
keterampilan proses, bila dihadapkan pada materi sains yang erat hubungannya
penggunaan alat dan bahan di laboratorium, murid mungkin akan merasa kesulitan
dalam menerapkannya karena tidak semua murid memiliki sarana dan prasarananya
di rumah masing-masing, meskipun murid dapat secara kreatif menerapkan hasil
pemahaman materi pembelajaran dengan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan
dengan alat dan bahan seadanya di rumah, namun secara umum kondisi learning loss menyebabkan kreatifitas
murid menjadi sangat berkurang, hal ini pula yang menyebabkan kemampuan
keterampilan proses murid menjadi menurun. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan
kemampuan sikap, secara umum rendahnya kemampuan pengetahuan dan keterampilan
proses akan berdampak pada kemampuan sikap murid, yakni pada minat, motivasi
belajarnya maupun karakter sopan santunnya terhadap guru.
Teknologi, Digital Native dan Disrupsi. Apa
Hubungan dari Ketiganya?
Meski pandemi Covid 19 telah berlalu, namun dampaknya masih ada
hingga saat ini. Seiring perubahan jaman dengan teknologi yang semakin maju,
kondisi disrupsi sudah pasti dialami oleh sebagian besar guru. Disrupsi,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal yang tercabut dari
akarnya. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau perubahan mendasar
dan signifikan yang dapat mengguncang dan mengubah tatanan kehidupan yang sudah
ada secara drastis, salah satu penyebabnya adalah teknologi.
Teknologi menggantikan seluruh aspek kehidupan, terutama bidang
pendidikan. Pembelajaran digantikan dengan teknologi berupa smartphone, laptop atau komputer.
Karakteristik murid yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan 2012 atau biasa
disebut Generasi Z (Gen Z), juga memberikan pengaruh besar terhadap penggunaan
teknologi.
Beberapa karakter yang dimiliki Gen Z yakni digital native artinya
mereka merupakan golongan yang sangat mahir dalam menggunakan teknologi digital
seperti smartphone, aktif dalam media
sosial serta perbagai aplikasi lainnya. Mereka secara mandiri dapat dengan
mudah mempelajari dan menggunakan teknologi tersebut tanpa merasa kesulitan,
hingga pada akhirnya mereka menjadi merasa handal dan kurang mempedulikan
kehadiran seorang guru, dan seketika itu guru mengalami yang namanya disrupsi.
Dan guru, jangan pernah mengalami hal ini.
Guru tetap harus menjadi role
model bagi murid-muridnya di sekolah, dan seyogyanya jangan sampai
mengalami disrupsi. Justru sebaliknya, banyak hal yang harus dilakukan oleh
guru dalam mendidik murid untuk menghadapi tantangan digital native yang secara umum akan dialami oleh murid-muridnya,
antara lain: 1) FOMO (Fear of Missing Out) yakni suatu tekanan untuk selalu
terhubung serta mengikuti tren-tren baru, 2) cyberbullying, 3) ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya sendiri
dan orang lain, 4) sulit membedakan informasi benar atau salah.
Lalu apa yang Sebaiknya
Dilakukan oleh Guru dalam Menghadapi Digital
Native?
Digital native tidak boleh
menghilangkan jati diri seorang guru, namun sebaliknya justru menjadikannya
sebagai tantangan untuk meningkatkan mutu kita sebagai guru. Untuk menjadi guru
yang bermutu, tentunya bukan hal mudah. Jati diri seorang guru artinya adalah
seorang guru tidak hanya sekedar menyampaikan materi, namun juga memiliki
karakteristik berikut: 1) memahami filsafat pendidikan yakni pandangan tentang
tujuan pendidikan dan mewujudkan proses pembelajaran yang ideal, 2) memiliki
keterampilan paedagogis yakni kemampuan dalam pengelolaan kelas serta interaksi
dengan murid, 3) memahami dan mengelola emosi diri dan murid dengan baik
melalui pelaksanaan pembelajaran sosial emosional di sekolah, 4) serta
menanamkan nilai-nilai budi pekerti baik pada murid.
Murid memang sangat akrab dalam teknologi, mereka dapat dengan
mudah mengakses banyak hal serta mampu belajar secara mandiri. Namun teknologi
hanyalah sebuah alat, dan guru tetap memiliki peran yang krusial dalam pendidikan,
yakni dalam hal membimbing penggunaan teknologi sehingga murid dapat memilih
alat dan aplikasi yang sesuai dengan materi dan kondisi mereka masing-masing,
serta menanamkan etika digital agar murid dapat memilih dan memilah penggunaan
teknologi dengan bijak sehingga mereka akan terhindar dari penyalahgunaan
teknologi yang dapat menjerat mereka pada tindakan negatif, selain itu juga mengajarkan keterampilan
digital agar murid dapat menggunakan perangkat lunak, serta platform
pembelajaran.
Kehadiran digital native,
harus menjadi peluang atau kekuatan bagi guru untuk upgrade diri menjadi lebih bermutu, dengan melakukan hal-hal
berikut: 1) berinovasi, dalam hal menggunakan teknologi untuk mewujudkan
pembelajaran yang menarik dan efektif bagi generasi Z, 2) berkolaborasi dengan
murid dalam proses pembelajaran, dengan memberikan peluang bagi
mereka untuk mengeksplorasi diri dengan baik, 3)
terus belajar dan meningkatkan kompetensi diri serta berupaya meningkatkan
kualitas pembelajaran serta berpihak pada murid, murid dan murid.
Guru juga harus lebih peka terhadap keadaan dan menyadari bahwa
kaitannya dengan teknologi, ada banyak hal perlu diperhatikan bahwa 1) bisa
saja terjadi kesenjangan digital terjadi pada murid karena tidak semua dari
mereka memiliki akses yang sama terhadap teknologi, 2) penggunaan teknologi
berlebihan dapat berdampak negatif pada murid, 3) guru bukan lagi pusat
informasi melainkan sebagai fasilitator.
Bagaimana menjadi Guru
Bermutu, Tantangan dan Solusinya?
Agar menjadi guru bermutu serta tidak kehilangan jati diri di
tengah disrupsi, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan
Kompetensi Sosial Emosional (KSE). KSE merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan mengelola emosi dirinya,
membangun relasi positif dengan berbagai pihak, serta pengambilan keputusan
tepat dan bertanggung dalam berbagai situasi. KSE merupakan kemampuan seseorang
untuk membangun relasi dengan pihak lain dan hidup berdampingan secara
harmonis.
Secara
umum, KSE mencakup lima aspek utama, yakni: 1) kesadaran diri (Self-Awareness), artinya memahami emosi,
kekuatan, kelemahan, dan nilai-nilai diri sendiri, 2) pengelolaan diri (Self-Management), artinya mengelola
emosi, pikiran, dan perilaku secara efektif untuk mencapai tujuan, 3) kesadaran
sosial (Social Awareness), artinya
memahami perspektif orang lain, empati, dan menghargai keragaman, 4)
keterampilan sosial (Relationship Skills),
artinya membangun dan memelihara hubungan yang positif, berkomunikasi secara
efektif, dan bekerja sama, 5) pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Responsible Decision-Making), artinya
membuat pilihan yang baik berdasarkan nilai-nilai dan konsekuensi.
Mengapa Kompetensi Sosial Emosional (KSE) ini sangat penting untuk
ditingkatkan? Berikut penjelasannya, 1) menguasai teknologi dengan terus
belajar dan “melek” teknologi, dalam
hal ini guru dituntut untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang cepat,
dengan kompetensi sosial emosional maka guru dapat lebih mudah untuk
mengendalikan diri, mengatasi stress dengan sebaik-baiknya serta memiliki
keterampilan dalam memecahkan masalah yang kompleks, jika hal ini dapat
dilakukan maka guru dapat dengan mudah dan siap dalam menghadapi tantangan baru
dalam dunia pendidikan, 2) guru adalah
model peran (role model) bagi
muridnya, dengan menguasai kompetensi sosial emosional maka guru dapat menjadi
contoh yang baik baik bagi muridnya dalam hal mengelola sosial emosionalnya
sehingga dapat membuat keputusan yang bijak, 3) berjiwa inovatif dan mau keluar
dari zona nyaman serta terus belajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
dengan penguasaan sosial emosional sehingga tercipta suasana belajar yang
nyaman dan kondusif, 3) membangun hubungan positif dengan memperkuat ikatan
kolaborasi dengan sesama guru, orang tua dan terutama dengan murid, hal ini
sangat penting dilakukan dengan meningkatkan kompetensi sosial emosional
sehingga terbentuk komunikasi efektif, dan empati yang tinggi dalam diri
seorang guru sehingga mampu memberikan keputusan yang bijak bagi dirinya
sendiri maupun orang lain.
Meningkatkan kompetensi sosial emosional, dapat dilakukan dengan
cara 1) mengikuti pelatihan dan pengembangan diri secara mandiri yang fokus
pada pengembangan keterampilan sosial emosional guru, misalnya mindfulness (kesadaran penuh) dan
meditasi, coaching untuk
mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan komunikasi, dan pembelajaran
kolaboratif sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama, 2)
mengoptimalkan komunitas belajar baik di tingkat sekolah maupun komunitas
praktisi lainnya yang ada di kabupaten, provinsi maupun nasional, 3) membuka
diri untuk terus belajar guna meningkatkan cakrawala berpikir utamanya dalam
mengelola sosial emosional diri.
Kesimpulan
Digital native, sebetulnya tidak
menghilangkan jati diri guru, guru tetaplah menjadi sosok yang penting dalam
proses pembelajaran. Agar hal tersebut dapat bersinergi dengan baik, maka kunci
kesuksesannya adalah dengan menggabungkan antar keduanya yakni kekuatan
teknologi dengan kehangatan manusia. Agar hal tersebut terwujud, maka guru
harus mau belajar dan membuka diri menerima perubahan dengan senantiasa
beradaptasi sehingga digital native
tidak mengubah peran guru.
Dengan upgrade diri
menjadi guru bermutu, apapun tantangannya dan menemukan solusinya sehingga guru
tetap memiliki marwah di dunia pendidikan, serta menjadi sosok yang dirindukan
oleh murid-muridnya. Selain itu, tidak takut untuk berubah dan keluar dari zona
nyaman, serta memperluas jejaring sosial dengan komunitas praktisi, sehingga
menambah cakrawala berpikir untuk terus belajar.
Meningkatkan keterampilan sosial emosional adalah juga tidak kalah
pentingnya untuk menjadi guru bermutu, karena hal tersebut dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran serta menciptakan generasi yang lebih siap di masa depan,
mereka tidak hanya mahir dalam teknologi namun juga memiliki budi pekerti luhur
yang dapat menjadi kontrol dalam pemanfaatannya.
Mari menjadi guru bermutu, di tengah disrupsi, tidak takut akan
perubahan serta adaptif, karena teknologi tidak bisa menggantikan kehadiran
guru, karena guru tidak hanya mengajarkan ilmu namun juga mendidik murid sesuai
kodrat alam dan jamannya, sehingga nantinya akan terbentuk generasi emas
kebanggaan Bangsa Indonesia.